Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, Maret 1888, meninggal 29 Desember 1971) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern,
da’wah beliau dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar,
yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita
Nahdlatul Ulama.
Ayahanda
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah Kyai Said, Pengasuh Pesantren
Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Fatimah.Beliau juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Makkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
Kyai
Wahab merupakan bapak Pendiri NU setelah Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim
Asy’ari. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin
(Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Beliau juga tercatat sebagai
anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus
bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun
1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan,
kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. Pada perang melawan
penjajah Jepang beliau berhasil membebaskan KH. M. Hasyim Asy’ari dari
penjara ketika ditahan Jepang. Kyai Wahab juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan,
Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan
Muda.
KH.
A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat
Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab
Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau merupakan
seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan
terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab
Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan
Pemikiran) di Surabaya pada 1941.
Mula-mula
kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi
berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan
topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang
luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan
menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai
kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan
permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul
Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi
ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional
sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi
tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas
berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran
keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan
dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab
Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam
organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan
kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul
Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama
pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang
berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul
Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem)
dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat
yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar
merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai
Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa
keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan
seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum
muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan
dengan pisau analisis keislaman.
Pernah
suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang
Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri.
“Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya
untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang
bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga.
Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya
yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh
Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu
yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke
punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari
sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni
berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan
luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku
kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya
janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa
sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar